Terima kasih atas kedatangan Anda

Pencarian

           

SAKSIKAN PENTAS TEATER "AWU"


Gratisssssss..............!

Dengan karya :

Musibah Banjir



dan

Sisi Demokrasi



sisi dunia

hidup ini
penuh SISI
layaknya RODA
selalu berputar
tanpa KOMA
kadang diatas
kadang dibawah
seolah mencari CELAH
dimana ASA di damba
tak pasti kan
jadi NYATA
dunia sisi

dimana
seorang investor meniduri
kaum pekerja
saat itu
pemerintah
dalam keadaan
tertidup lelap
 rakyat terabaikan
 dan
 
masa
depan berada dalam
kondisi
menyedihkan

Gratisssssss..............!


Jam 19.30 - Selesai
Jum'at 16 Mei 2008
Aula

SMK Negeri 2 Bojonegoro

Jl. Pattimura 03 Tlp. (0353) 881912 Bojonegoro

turut mengundang :
  • Dewan Kesenian Bojonegoro
  • Jaringan Teater Pelajar Bojonegoro
  • Komunitas teater umum
  • Kalangan pelajar se Bojonegoro dan se Karesidenan
  • Kampoeng seni
  • Dan semua kalangan yang berminat menonton seni teater



------------------------------------------------------------

Pendidikan Sistem Ganda
Praktek Kerja Industri
di Pusdiklat Migas Cepu
Jl. Sorogo 01 Cepu-Blora



Oleh : Suparno
Nis : 9801/104/TKJ

Dinas Pendidika Kabupaten Bojonegoro
SMK Negeri 2 Bojonegoro
Jl. Pattimura 03 telp (0353) 881912 Bojonegoro

------------------------------------------------------------
Assalamualaikum wr. wb

Design website ini saya rancang khusus buat Bpk Unggul selaku pembimbing prakerin di Pusdiklat Migas Cepu. Website ini untuk penilaian, dimana ini adalah hasil saya semasa melakukan prakerin selama kurang lebih 2 bulan yang dimulai tanggal 1 maret - 30 April 2008. Saya sangat-sangat berterima kasih kepada Bpk Unggul, yang mana beliau telah membimbing saya dengan baik dan benar. Sehingga saya mampu menyelesaikan tugas design Website. Apabila saya pernah membuat hati Bpk Unggul kurang berkenan atas tingkah / perbuatan saya selama melakukan prakerin, saya selaku siswa meminta maaf yang sebesar-besarnya. Terima kasih.

Wassalamualaikum wr.wb.
------------------------------------------------------------
Debat sisi

Perkembangan teater saat ini adalah perkembangan teater post-Stanislavsky. Setelah Stanislavsky, tumbuh teater baru yang mementingkan sutradara. Orang sudah enggak perlu surealisme l
agi. Sudah jenuh. Mereka mencari bentuk yang lain. Tapi kita baru mulai, akibatnya biarpun lama berteater, tapi tidak melahirkan aktor yang baik.

Sungguh, hal itu terngiang lagi di kesadaranku, karena ternyata permasalahan lama itu muncul kembali, diujarkan dengan bahasa yang lain oleh Jaya Espino dalam diskusi teater yang diadakan oleh meja budaya hari Jumat tanggal27 Juli 2007 lalu. Jaya Espino menyatakan bahwa teater modern Indonesia merupakan teater yang didirikan dengan tradisi pemusatan kuasa pada corak badan dan pikiran sang sutradara.

Memang bukan tema baru. Tapi harus diakui juga, permasalahan itu bukannya telah selesai sekarang. Ada satu hal penting mengapa itu sampai terjadi. Menurut Jaya Espino, yaitu adanya paradigma paternalistik, di mana itu memunculkan pemusatan wacana teater pada sosok tunggal sutradara.

Tapi sayangnya, diskusi sore itu tidak terlalu jauh mengurai untuk mencari sebab
dari kegelisahan yang dilemparkan Jaya Espino. Terlebih dengan waktu yang dibatasi justru oleh moderator.

Tanpa paparan yang lebih jauh tentang sebab-sebab itu,
Jaya Espino lalu menawarkan sebuah ajakan untuk mendevitalisasi paradigma paternalistik dengan sebuah paradigma pempribadian, di mana tradisi kerja kolektif dalam teater harus dimaknai sebagai fasilitas bersama untuk terberdirikannya proses emansipasi lintas pribadi.


Sebuah ajakan yang tidak mendasar buat saya (Suparno Titian Kusuma), sebab, tanpa adanya paradigma pempribadian itu pun, sebuah kerja teater memang sebuah kerja kolektif. Sebuah keloktivitas tentu mensyaratkan adanya kesetaraan dengan menghargai dan menjalankan tanggung-jawab posisinya masing-masing. Seorang sutradara atau pemain, pasti mempunyai sebuah wilayah yang tidak bisa diganggu-gugat oleh pihak di luar dirinya. Suatu wilayah ”otonomi diri”, di mana dia menjadi penguasa akan kediriannya dan memahami seluruh bahasa dirinya ketika dia harus memilih kerjanya dalam proses kreatif teater. Hal ini juga untuk menjawab kegelisahan Firda yang melihat pemain masih sebagai subordinat dalam produksi teater.

Pun, saat Firda menawarkan solusi bahwa teater modern Indonesia harus menengok ke teater tradisi, dengan asumsi bahwa dalam teater tradisi, sutradara hanya berperan dalam mengatur plot cerita dan pola pengadeganan (mise en scene). Selebihnya pemain yang berperan. Tapi Firda lupa, bahwa antara teater modern dan teater tradisi memiliki pola dan syarat yang saling berlainan.

Teater tradisi hidup dan dihidupi orang-orang yang lebih homogen dan memiliki semangat lokalitas yang tinggi. Mereka mempunyai hubungan yang intens, baik dalam proses kreatif maupun dalam hubungan sosial. Ada semangat kekerabatan yang berusaha selalu mereka tumbuhkan. Kesenian adalah sesuatu yang coba mereka pertahankan sebagai simbol komunal wilayah hidup.

Sedangkan teater modern adalah hasil pembelajaran dari tradisi barat, yang kemudian disikapi sebagai ilmu. Kalaupun toh kemudian ada yang memilih teater sebagai jalan, yang muncul kemudian adalah teater yang hidup dengan semangat memperbaharui yang terus-menerus dengan segala pencarian bentuk kreatifnya sebagai bahasa visual. Tradisi cuma sekadar aksesori, bahkan terkadang sampai melawan tradisi. Itu pilihan. Jadi sangat aneh, kalau kita harus merujuk ke teater tradisi untuk menjawab permasalahan teater modern seperti yang ditawarkan Firda.

Pada akhirnya, teater modern Indonesia adalah kompleksitas. Membicarakan persoalan aktor, misalnya, mau tidak mau kita akan membicarakan teater sebagai sebuah disiplin. Termasuk masa lalunya.

Saya (Suparno Titian Kusuma) setuju dengan pendapat bahwa teater modern Indonesia masih memakai paradigma paternalistik. Munculnya kelompok-kelompok teater, berbiak dari teater-teater sebelumnya. Seperti layaknya sebuah keluarga, seorang anak yang sudah merasa dewasa dan ingin mandiri, tentu ada keinginan untuk memisahkan diri dari keluarga besarnya dan membentuk keluarganya sendiri. Maka keluarga-keluarga baru bermunculan. Itulah teater modern Indonesia. Budaya paternal yang dia cerap selama masa kanak-kanaknya itu tanpa sadar ikut terbawa ketika ia ingin berdiri sendiri. Terjadi pelembagaan terhadap budaya paternalistik.

Seorang aktor dalam kelompok terdahulunya akhirnya akan berkeinginan juga menjadi sutradara ketika dia keluar dan menciptakan kelompoknya sendiri. Keaktoran saja tidak cukup bagi seorang aktor. Sutradara adalah puncak pilihan.
Saya kira, i
nilah struktur berpikir yang kadung tertanam di benak—secara umum—para pekerja teater Indonesia. Dan kalau itu dianggap kesalahan, saya kira, itulah sebabnya yang berkembang kemudian adalah teater sutradara. Kita tidak pernah benar-benar lepas dari masa silam, atau bahkan tanpa masa silam seperti kata Nuvanggit Pria. Kita masih terbelenggu dengan budaya paradigma lama yang paternal.


Pengertian antara teater sutradara dan teater aktor, bukanlah masalah penting. Yang harus kita tumbuhkan sekarang ini adalah sebuah teater yang benar-benar tanpa hubungan dengan para pendahulunya. Yang tidak membawa naluri tradisi paternalistik. Teater yang tidak peduli dengan masa lalunya sendiri. Teater yang berani memutus mata-rantai sejarah perkembangan sebelumnya. Tanpa masa silam yang sebenarnya.

Teater modern Indonesia kemudian lahir dari gagasan-gagasan dan kegelisahan sekumpulan orang yang meniatkan dirinya untuk melebur menjadi sebuah kelompok teater. Artinya: teater itu lahir bukan karena kegelisahan satu orang saja. Hal itu akan berpotensi ke arah teater sutradara seperti teater-teater Indonesia sebelumnya.


Niatan itu tentu saja harus didukung orang-orang dengan kemampuan dan kualitas yang memadai di bidangnya masing-masing. Baik itu pemain, sutradara, penulis naskah, bagian artistik, bahkan sampai di bidang manajerial. Semuanya dengan semangat dan visi yang sama. Tidak ada heirarki atas-bawah di dalamnya. Setiap individu mempunyai posisi yang sama pentingnya. Setiap orang berhak melemparkan gagasan untuk direspons dan didiskusikan bersama. Bagaimana individu yang memilih di bagian penulisan naskah kemudian serius mengerjakan tugasnya dari hasil diskusi itu. Bagian manajerial kemudian sibuk membuat surat-surat dan proposal pertunjukan. Para pemain giat mempersiapkan tubuhnya dalam latihan-latihan rutin. Bagian penyutradaraan memilih, siapa yang siap untuk menyutradarai gagasan itu. Dalam bahasanya Adi Wicaksono: bagian-bagian itu kemudian dilembagakan. Setiap lembaga di dalamnya hanya mengurusi apa yang menjadi bagiannya. Orang yang harus menyutradarai, tidak serta-merta juga menjadi pimpinan produksi. Atau seorang pemain yang juga merangkap mengurusi surat-surat dan proposal yang harus dibuat. Dengan begitu, setiap orang akan mampu lebih maksimal mengerjakan apa yang menjadi tanggung-jawabnya.


Dalam teater seperti itu, akan lebih banyak memunculkan warna dan corak pada tiap produksi kreatifnya, karena setiap sutradara di dalamnya, dengan seluruh kapasitasnya, masing-masing mempunyai gaya dan cara pengucapannya yang khas. Seorang pemain akan lebih menemukan gaya aktingnya dari setiap sutradara yang berbeda.

Maka tidak penting lagi dipertanyakan, teater sutradara atau teater aktor yang muncul, atau malah teater naskah, karena ternyata naskah yang tertulis lebih kuat dibanding aktor atau sutradaranya, misalkan. Semuanya telah selesai ketika itu didiskusikan dan digodok hingga menjadi sebuah ide bersama yang lebih matang dan jelas.

Dalam teater seperti itu, keberagaman bentuk lebih berkemungkinan untuk menemukan semangat dan hidupnya. Dengan sendirinya, hal itu akan lebih memperkaya perkembangan teater modern Indonesia yang sudah memilih untuk melupakan masa lalunya dan menciptakan sejarah dan tradisinya sendiri.
 

Teater Awu
Tanpa Simbol

SMK Negeri 2
Bojonegoro
Bpk Burhan Bijak :

Orang yang bahaya
adalah
orang yang
mampu meraih
cita-cita rendah

Orang yang bahaya
bukanlah
orang yang
tidak mampu
meraih cita-cita tinggi
Sisi Hidup

SIsi hidup
Selalu ia ubahnya
Layak seperti roda
Tak henti putar
Bagai tanpa koma
Mencari suatu celah
Kadang
Asa didamba
Tak pasti
Jadi nyata
Smile alias Ceria
Harus Flexibel
Sederhana gitu loh
Harus Simpati
Pada orang lain
Tu yang namanya Fren
Patut acungi Jempol
Lagu di Belakang Bangku

Ini lagu lama telah melagu
Ini lagu entahkan berlalu
Lagu prasasti angkuh bertahta
Lagu jelata misal tak berdaya

Untuk apa ada lagu
Sendu ...
Buat apa lagu sendu
Ada ...

Belajar dari rasa ngeri
Belajar terpaksa berani
Belajar dari rasa berani
Belajar menjadi mandiri
 
awu 1 visitors (1 hits) awu
This website was created for free with Own-Free-Website.com. Would you also like to have your own website?
Sign up for free